Pages

Saturday, January 03, 2009

Tantangan Manufacture 2009

2009 …Ternyata sudah memasuki tahun kesebelas bagi penulis menjadi bagian dari industri manufacture. Bukan waktu yang singkat tapi bukan pula waktu yang lama. Sepanjang waktu ini, tidak terhitung banyaknya transfer ilmu dan ketrampilan seputar Industri Manufacture yang penulis peroleh, mulai dari bangku kuliahan, Trainning-trainning, Pengalaman sebagai praktisi, hingga menimba ilmu langsung ke kiblat Industri Manufacture Indonesia, yaitu Jepang.
tetapi keadaan ini tidak menjadikan penulis merasa sudah pintar, ahli, ,terampil, expert atau apapun istilahnya yang menunjukkan hubungan sebab akibat yang berkorelasi positif .

Tidak dalam kondisi krisis saja, mengelola perusahaan begitu sulit. Apalagi dengan kondisi sekarang, Complex-nya permasalahan dalam Industri saat ini, membuat keahlian mengelola organisasi perusahaan tidak sekedar copy paste teory atau metode yang ada.

Perlu ada pendekatan khusus, misal dengan memodifikasi metode, mengkombinasikan beberapa bidang ilmu ( misal konsep kepemimpinan yang sangat mempertimbangkan faktor psikologis dan sosiologis organisasi ) , dan selalu menambah wawasan meski berada diluar ruang lingkup Teknik Industri. Dengan kata lain jadikan diri kita manusia pembelajar, yang senantiasa haus akan ilmu.

Di Artikel yang penulis posting Tgl 2 Januari ’09, “ Perkembangan Manajemen Produksi dan Operasi”. Kita mendapatkan pemikiran Frederic W. Taylor pada tahun 1911. Bapak Manajemen Ilmiah ini menyarankan persoalan-persoalan yang timbul terutama dalam industri manufacture diselesaikan dengan metode-metode ilmiah.
Bayangkan … konsep ini hampir berumur 100 tahun, tapi masih saja sulit bagi sebagian besar industri kita menerapkannya dengan baik. Kadang Penulis berpikir, Sudah siapkah Industri kita menerima metode-metode yang tergolong “rumit” misalnya seperti Six Sigma ? Sedangkan PDCA, Pareto, Fishbone yang begitu mudah dipelajari saja kadang dipakai kadang tidak.
Ini buktinya : GKM yang pernah menjadi metode yang banyak diminati di era 80-90 an, meredup dan memasuki Th. 2000 muncul QCC ( Quality Control Circle ) yang kurang lebih punya misi sama dengan GKM, tapi format yang berbeda.


Dalam bukunya “ Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan“ Kuntjaraningrat (***) membawa kita mengenal lebih dalam mengenai mentalitas masyarakat kita.
Mentalitas yang dimaksud, terangkum dalam uraian berikut :


1. Mentalitas petani .
· Tidak biasa berspekulasi tentang hakekat dari hidup, dari karya dan hasil karya manusia, dan apabila mereka kita tanyai mengenai hal-hali itu, maka mereka akan melihat terheran-heran dan akhirnya mengajukan jawaban yang amat logis, ialah bahwa manusia itu bekerja kerja untuk dapat makan. ( hal. 38 )
· Mempunyai persepsi waktu yang terbatas (hal 39)
·
Konsep mengenai pengaruh nasib yang amat kuat.
· Konsep sama rata sama rasa ( hal.41), konsep dasarnya, di dunia manusia itu pada hakekatnya tidak bisa berdiri sendiri. Konsep itu memberi suatu landasan yang kokoj bagi rasa keamanan hidup, sebaliknay konsep sama rata sama rasa memberi kewajiban untuk terus menerus memelihara hubungan baik dengan sesamanya…Konsep seperti ini tentu sangat bernilai, bentuk nyatanya yaitu budaya gotong royong. Tapi konsep itu juga mewajibkan suatu sikap konformis yang besar ( artinya, orang sebaiknya menjaga agar jangan dengan sengaja berusaha untuk menonjol diatas yang lain ). (hal.41)

2. Mentalitas Priyayi ( Jawa )
· menghubungkan hakekat karya dengan konsep amal … konsep amal dalam alam pikiran jawa dibayangkan sebagai hasil karya yang mewujudkan kebahagiaan-kebahagiaan dalam hidup ini. Kebahagiaan-kebahagiaan itu aalah misalnya: kedudukan, kekuasaan, dan lambang – lambang lahiriah dari kemakmuran ( banyak rumah priyayi dahulu kamar epan dan kamar tamunya.
tampak megah, kaya dan mengagumkan, tapi dapurnya gelap, kotor dan tak terurus, sedng kamar madi dan WC nya rusak dan kotor. ( hal. 38 )
Suatu hal yang tidak cocok dengan jiwa pembangunan dalam hal ini adalah bahwa konsep ini tidak bersumber pada nilai budaya yang berorientasi pada hasil ( achievment oriented ), tetapi hanya terhadap amal dari karya, ibarat sekolah yang tidak mengejar ketrampilan yang diajarkan, tetapi hanya ijazahnya saja. ( hal. 39)
· Mentalitas priyayi terlampau berorientasi pada masa lampau, seeprti rasa sentimen yan gberlebih-lebihan terhadap benda pusaka, mitologi, silsilah, karya pujangga-pujangga kuno, serta upacara-upacara rumit untuk memelihara benda pusaka. Hal itu semua tentu bukan hal yan gmelemahkan mentalitas mereka, hanya saja orientasi yang terlampau banyak terarah ke zaman yang lampau akan melemahkan kemampuan seseorang untuk melihat ke masa depan. Seperti rendahnya motivasi untuk menabung dan hidup hemat. ( hal.39)
· Adat sopan santun pegawai diseluruh indonesia amat berorientasi kearah atasan. Segi negatif dari suatu orientasi nilai-budaya yan gterlampau terarah kepada orang-orang yang berpangkat tinggi, yaitu senior, bahwa hasrat untuk berdiri dan berusaha sendiri akan dimatikan, begitu juga rasa disiplin murni dan tanggung jawab, karena orang hanya taat apabila ada pengawasan dari atas ( hal.41-42)

3. Mentalitas yang meremehkan Mutu
· Kebutuhan akan kualitas dari hasil karya kita dan rasa peka terhadap mutu sudah hampir hilang. Hal itu rupa-rupanya adalah akibat otomatis dari kemiskinan menghebat yang selama masa penjajahan.Demikian kita sampai tak sempat memikirikan mengenai mutu dari pekerjaan yang dihasilkan dan mutu dari barang dan jasa yang kita konsumsi. (hal.45) Mentalitas seperti ini juga disebabkan karena proses penyebaran, perluasan, pemerataan, dan exstensifikasi dari sistem pendidikan kita tidak disertai dengan perlengkapan sewajarnya ( hal.46)

4. Mentalitas yang suka menerabas (ambil jalan yang paling gampang)
· Mentalitas yang bernafsu untuk mencapai tujuannya secepat-cepatnya tanpa banyak kerelaan berusaha dari permulaan selangkah demi selangkah (hal. 46).

5. Sifat tidak percaya diri
· Disamping karena Mentalitas Priyayi (hubungan atasan-bawahan), sifat tidak percaya diri ini memburuk, adalah suatu konsekuensi dari serangkaian kegagalan, terutama dalam bidang pembangunanyang dialami bangsa indonesia dalam zaman post-revolusi, sejak tercapainya kemerdekaan, hingga sekarang.


Ini hanya satu contoh yang penulis lakukan sejak 3 tahun lalu, yaitu mencoba mencari pendekatan dari sisi lain, dari bidang – bidang ilmu yang lain, yang tidak bersinggungan langsung dengan dunia manufacture.

Pandangan-pandangan dari pakar Anthropology seperti diatas sangat membantu penulis dalam mengidentifikasi akar permasalahan, terutama mengenai penurunan efisiensi dan produktifitas kerja dan problem quality. Setelah mempertimbangkan gagasan para pakar ini, penulis otomatis terposisikan sebagai dokter, dan pekerja-pekerja sebagai pasien. Bukan seperti Polisi dan Penjahat, atau istilah lainnya dimana Subject dan object berdiri diposisi yang berseberangan, yang ada hanya win and lose.
Sekali lagi ini hanya satu contoh case saja. Begitu banyak ilmu yang bisa kita peroleh baik yang terpendam didalam buku dan literatur, maupun orang – orang bijak disekitar kita.

Saat memasuki dunia industri yang sebenarnya, selalu ada Kondisi – kondisi yang menyebabkan pengetahuan dan ketrampilan tidak bisa begitu saja diterapkan dengan copy paste.
Berbagai hambatan, seperti misalnya; minimnya biaya/budget, kurangnya komitmen management, Potensi SDM yang minim, Mentalitas pekerja yang rendah, kondisi psikis pekerja yang tidak kondusif akibat adanya masalah perburuhan, Kondisi alat-alat produksi yang efiensinya turun jauh karena faktor umur mesin, Naiknya harga material, spare parts & komponen, sehingga perusahaan menggunakan material dan spare part grade rendah, Sistem produksi yang masih manual / belum terintegrasi dengan sistem informasi modern, rendahnya perhatian manajemen terhadap faktor safety, Tingginya tingkat turn over karyawan, dan masih banyak lagi. Menjadikan variabel – variabel yang dalam kondisi tertentu menjadi penyebab tunggal, dikondisi lain bisa saling mempengaruhi sehingga mengakibatkan permasalahan semakin kompleks ( problem multi dimensi )

Memasuki 2009, Jika tidak dikelola dengan tepat, potensi terjadinya permasalahan akibat problem multi dimensi semakin besar. Disinilah peranan Level Manager dan Supervisor akan semakin strategis.

Terlepas dari kondisi yang penulis ilustrasikan diatas. Ada satu hal yang penulis pikir sangat baik untuk dilakukan, yaitu : “ Laksanakanlah tugas bukan karena kewajiban, tapi karena keyakinan” .
Spirit ini terbukti, memberi penulis energi yang besar untuk berdiri ketika jatuh, lalu berlari kembali .

Semoga kita menjadi lebih baik di 2009 ini.



(***) : Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, KOENTJARANINGRAT,
1992, PT Gramedia pustaka Utama
















No comments:

Post a Comment